Dunia fantasi?
Aku bahkan tak tertarik untuk mengetahuinya. Perkenalkan, namaku Ryn. Gadis berumur enam belas tahun yang sama sekali tidak tertarik dengan teori dunia paralel, tapi malah berteman dengan seseorang yang memiliki ikatan dengan dunia paralel.
Aku dan temanku sekarang sedang berada di perpustakaan.
Udara sejuk dan aroma buku yang khas menyeruak seisi ruangan. Bagi orang yang suka menyendiri sepertiku pasti akan menyukai tempat seperti ini. Aku segera berjalan menuju rak buku bertuliskan sejarah sedangkan Ale menuju rak dengan tulisan fiksi. Aku berjalan menuju pojok ruangan, tempat buku yang aku cari. Namun, cahaya misterius tertangkap oleh sudut mataku. Awalnya aku membiarkannya–mengira itu hanya cahaya matahari biasa dari ventilasi. Tetapi, cahaya itu makin membesar. Anehnya, orang lain di dalam ruangan tak merasa ada yang salah.
Aku langsung memanggil temankku. “Ale! Kamu lihat cahaya itu!? Terang banget!”
“Hah! Kenapa ada di sini!?” Ujar Ale kaget dan segera memeriksa cermin itu.
“Ale! Kita mending beritahu pustakawannya! Ale, jangan!” Aku melarang Ale.
“Gabisa, Ryn! Pasti ada sesuatu yang jadi alasan cermin itu di sini! Lagipula mereka tidak bisa melihatnya!” Ale tak memedulikan ucapanku. Ia menarik lenganku maju.
“Maksud kamu apa, Ale!? Jangan! Kamu harus jelasin dulu!” Aku mencoba melawan. Menarik tangannya ke belakang. Tapi Ale tetap menarikku,
WOOSHH!!! Tubuhku serasa ditarik jet dengan kecepatan tinggi. Super cepat! Dan kami melayang, seperti ditarik ke sebuah tempat. Ruangan di sekelilingku berwarna putih dan berputar-putar seperti galaksi. Aku langsung merasa pusing dan mual. Ale masih memegangi lenganku, sambil memberi senyuman tipis,membuatku ingin menimpuknya. Selang beberapa detik kemudian, kami terjatuh ke sebuah tempat. Aku melotot ke arah Ale. Kembali dibalas senyuman tak bersalah. Dasar!!
Aku menoleh memeriksa ruangan tempat kami terjatuh. “Kita dimana? Kenapa….!!!” Aku tersentak kaget karena kami berada di sebuah stadion raksasa penuh manusia berpakaian putih.
“Nah ini dia! Peserta panahan nomor tujuh! Aletheia dan temannya!” Seorang pria mengumumkan nama Ale, membuatnya terkejut.
Ale langsung mengedarkan pandangannya, seperti mencari seseorang. Nah! Dia berhasil menemukan orang itu. Seorang lelaki yang tengah tertawa kecil memandang Ale.
“Kak Aveir! Berani-beraninya mendaftarkan ku!” Ale bergumam sebal.
Pria yang tadi mengumumkan langsung menyuruh para peserta agar segera menyiapkan peralatan. Ale menarik lenganku lagi, ia hendak protes ke panitia, tapi tidak ada yang memedulikan keluhan Ale.
“Ikuti saja, adik. Aku ingin melihat apakah kemampuan panahan mu bertambah walau tinggal di Bumi.” Kata lelaki yang dicari Ale tadi. Ia berambut pirang dengan tubuh tinggi kurus.
Aveir melempar sebuah busur ke Ale. Ia menatapku sebentar, lantas tersenyum. “Halo, Ryn. Maaf.. kamu jadi terlibat.”
Aku menaikkan salah satu alisku. Bagaimana lelaki ini bisa tau namaku? Aku tidak mengerti.
“Kujelaskan sedikit. Kau ada di dunia lain. Dan maaf–aku tidak berniat mendaftarkan ku di festival olahraga ini, tapi panitia sudah melihatmu.” Jelas Aveir.
“Tidak bisa! Olahraga ini sulit! Aku tidak mau!” Ale menolak kuat-kuat, ia memandang Aveir kesal.
“Kalau kau tidak mau, biar Ryn saja. Kamu bisa memanah, kan?” Kini Aveir memandangku.
Aku mengangguk sekali. Bulan lalu aku berhasil memenangkan lomba panahan tingkat nasional. Tapi bisa saja panahan di sini berbeda, kan?
“Targetnya bergerak. Tenang saja, Ryn. Itu hanya butuh penghitungan melepas anak panah. Kau pasti bisa.” Aveir menyemangatiku.
Ketua Panitia mengumumkan sesuatu lagi. Pertandingannya akan dimulai sekarang juga. Aveir kembali ke tempatnya dan meninggalkan Ale yang masih kesal.
Aku menepuk pundak Ale, menyemangatinya. Terbalik memang. Harusnya Ale yang menyemangatiku, tapi itu tidak masalah. Aku beranjak mengambil busur yang diberikan Aveir tadi. Seruan penonton mulai terdengar. Ale menghela napas, kali ini dia sudah terlihat lebih bersemangat.
Target kami ada di depan, bergerak secara horizontal. Aku mulai menarik tali busurku dan memicingkan mata fokus. Eh!? Mendadak ada sekelompok harimau putih yang mendadak berlarian menutupi target. Seluruh peserta tercengang. Di atas sana, Ketua Panitia kembali berkata kalau para peserta harus berhasil mengenai target tanpa terkena si harimau.
Aku menatap sekitar, lebih banyak orang yang takut harimau daripada takut gagal memanah. Aku menggigit bibir dan tetap fokus menghitung objek sebaik-baiknya. Ale ikut membantuku.
“Harimau nya bergerak ke kanan kiri! Kamu harus memanah saat keduanya sejajar, Ryn!” Aku mengangguk sekali mendengar ucapan Ale.
Dan, YAK! Pada detik ketiga, anak panahku berhasil mengenai titik tengah warna merah pada target. Semua orang bertepuk tangan melihat kami. Aku tersenyum senang dan menangkap sosok Aveir yang juga tersenyum bangga melihatku.
Ale memeluk pundakku kegirangan, ia meminta maaf karena sudah mengajakku ke sini. Bagiku hal itu bukan masalah besar. Kami akan tetap jadi teman baik. Ketua Panitia mengakhiri pertandingan panahan, giliran pertandingan selanjutnya. Aku memandang sebuah layar hologram yang terpajang di atas stadion. Di sana tertulis namaku dan Ale sebagai pemenang panahan.
Aveir menghampiri kami dan menyuruh kami duduk di atas.
Di tempat duduk, Aveir lebih leluasa bercerita. “Ini Klan Andromeda, Ryn. Dan hari ini ada festival olahraga. Semua orang bebas mengikuti pertandingan. Aku mendaftarkan adikku dan menghubungkan portal cermin ke Bumi.”
Aku mendengar dengan seksama. Aveir juga bilang kalau ibunya tinggal di Bumi, karena itu Ale ada di Bumi sedangkan ia di sini bersama ayahnya. Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caraku kembali ke Bumi, guru-guru pasti akan mencari kami.
“Tenang saja. Waktu di sini dan Bumi berbeda. Tidak akan ada yang tau.” Aveir seperti tau apa yang kupikirkan.
Pembahasan kami berakhir karena menyaksikan berbagai pertandingan yang unik. Ada badminton dengan shuttlechock transparan, sepak takraw dengan bola hologram, dan skateboard terbang, membuatku berulang kali terpukau dengan tempat ini. Festival itu berakhir sore hari. Aku dan Ale mendapat sebuahmedali emas, tidak jauh beda dengan yang di Bumi. Aveir mengantar kami kembali menggunakan portal cermin. Benar katanya, aku dan Ale kembali ke perpustakaan seolah tak ada apapun yang terjadi tadi.
Penulis : Queene Ratnaduhita