‘Pritt!’
Peluit panjang ditiup sebagai tanda latihan basket diistirahatkan sejenak. “Istirahat dulu lima belas menit. Semangat!
Semangat!” Seru seseorang yang merupakan wasit sekaligus pelatih mereka sambil menepuk punggung para pemain satu persatu.
Malik mendudukan diri di tepi lapangan sembari menegak habis air mineral yang ia punya. Ia melirik ke arah ponselnya yang terus berkedip, terdapat banyak panggilan tak terjawab dari papanya dan sebuah pesan.
“Angkat telepon papa.” Pesan terkirim 30 menit yang lalu.
“Waduh, bisa ngamuk nih telponnya gak diangkat,” batin Malik. Dengan segera Malik menghubungi nomor sang papa, tak berselang lama suara pria paruh baya terdengar dari seberang sana.
“Papa tau kamu lagi main basket. Pulang sekarang.” Panggilan pun diputus sepihak oleh sang papa tanpa menunggu jawaban dari Malik. Mendengus kesal, Malik lantas memberesi semua barang bawaannya dan berpamitan pulang kepada pelatih dan teman-temannya.
***
“Sudah berapa kali papa bilang? Berhenti dengan basketmu itu! Fokus dengan masa depanmu Malik! Mau jadi apa nanti kamu kalau pelajaran saja tidak pernah kamu pedulikan?!” Papa naik pitam saat melihat anaknya, Malik, yang baru saja menyelesaikan latihan basket.
Rahang Malik mengeras. “Malik juga fokus dengan masa depan, pa! Basket itu masa depan bagi Malik. Malik mau jadi pemain basket, pa. Sudah berkali-kali Malik berkata seperti ini jika papa lupa.”
Guratan urat di dahi sang papa yang mulai keriput terlihat, amarahnya semakin terpancing mendengar jawaban anaknya.
“Berandal kamu, Malik! Ini jadinya jika kamu lebih memedulikan basketmu daripada akademikmu,” ujar beliau sambil menunjuk wajah Malik.
“Terserah papa, suatu hari nanti Malik janji akan membuktikan jika Malik bisa berhasil dengan basket yang selalu Malik banggakan.” Malik melewati papanya dan memasuki kamar.
***
“Pa, lihat Malik sekarang sudah sukses dengan basket yang selalu Malik banggakan, seperti janji Malik enam belas tahun yang lalu. Malik sekarang bisa lebih sukses dari yang papa harapkan, sekarang Malik juga telah dikenal oleh banyak orang di dunia, pa.” Malik kembali menabur bunga di atas batu nisan milik papanya.
Papa Malik berpulang saat Malik berusia 19 tahun, disaat ia belum bisa menepati janjinya pada sang papa. Tapi kini Malik dewasa sudah sukses dan berhasil menepati janjinya kepada mendiang papa. Sekarang ia telah dikenal sebagai Mahanta Malik sang juara basket dunia.
“Rumah kita sekarang makin banyak piala basket koleksi Malik, pa, hahaha jangan marah ya. Nih buktinya,” ujar Malik setelahnya sambil menunjukkan foto di ponselnya kepada batu nisan di hadapannya.
“Maaf, ya, Malik baru bisa buktiin disaat papa udah gaada di sisi Malik. Tapi Malik yakin diatas sana papa pasti bangga sama Malik.”
“Oh iya, Malik juga udah ngunjungin mama, semoga kalian bahagia di atas sana, ya. Terima kasih udah nemenin Malik menuju kesuksesan. Malik pamit, ya, pa.” Malik mengakhiri kalimatnya dengan mengecup nisan papanya sebelum akhirnya bangkit dan meninggalkan area pemakaman.
Penulis: Kaniya Belva Pratistasari